Minggu, 16 Januari 2011

Potret Kemiskinan Jalanan Dari Anak Jalanan Indonesia

Anak jalanan ada di mana-mana. Mereka adalah bagian dari kerasnya kehidupan kehidupan Kota-kota besar. Kita pasti sering melihat mereka di tepi jalan, di kolong jembatan, di dekat lampu merah, di terminal bus, kendaraan umum, mall, pusat perbelanjaan, bahkan di taman-taman kota

Siapa mereka?
Pada dasarnya anak jalanan adalah anak-anak berusia 6 sampai 18 tahun yang turun ke jalan untuk bekerja. Mereka ada yang datang ke kota karena orang tuanya mencari peruntungan di kota, ada yang merupakan anak-anak broken home, ada juga orang asli kota tersebut yang terpinggirkan oleh kemajuan kota, atau bahkan anak-anak yang diculik (salah satu bentuk trafficking)dan diset untuk menjadi pengamen, ojeg payung ataupun pengemis..

Bekerja, sekolah atau bermain?
Kita bisa saja mungkin pernah berpikir bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang kehilangan masa kecilnya. ”Bagaimana mungkin mereka bisa bermain atau bahkan bersekolah jika setiap hari mereka harus bekerja mencari uang untuk sesuap nasi?”

Anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Meskipun harus bekerja, anak jalanan tetap bisa tertawa dan bermain bersama teman-teman seusia mereka walaupun kadang untuk di ajak belajar ataupun bersekolah sangat sulit. Hanya saja, mereka menjalani masa kecil di tempat yang bukan semestinya, yaitu jalanan.


Seperti anak-anak kebanyakan, mereka juga punya cita-cita ingin menjadi guru, polisi, bahkan artis! Alasan mereka memilih profesi tersebut sangatlah sederhana: biar bisa membantu orang lain dan dapat uang banyak.

Anak Jalanan dalam Undang-undang
Salah satu definisi yang paling sering digunakan mengidentifikasi anak jalanan ialah: “seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau mempertahankan hidupnya”. Jalanan yang dimaksud tidak hanya mengacu pada pengertian “jalan” secara harfiah, melainkan juga merujuk pada tempat-tempat lain yang merupakan ruang-ruang publik yang memungkinkan siapa saja untuk berlalu-lalang, seperti pasar, alun-alun, emperan pertokoan, terminal, stasiun, dsb.
Sampai saat ini istilah “anak jalanan” belum tercantum dalam undang-undang apapun. Akan tetapi kita dapat mengkaji hal tersebut melalui beberapa UU yang menyangkut anak-anak terlantar. Pasal 34 UUD45 menyebutkan : “Fakir Miskin dan Anak Terlantar Dipelihara Oleh Negara”. Dalam konteks ini, paling tidak, ada dua hal penting yang perlu dicermati; yakni, siapakah yang dimaksud dengan “anak terlantar” dan apa maksud dan bagaimana mekanisme “pemeliharaan” oleh Negara itu?

Istilah “Anak terlantar” yang digunakan para “babak bangsa” lebih dari setengah abad yang lalu itu telah didefinisikan pemerintah melalui pasal 1 ayat 7 UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak . Di sana disebutkan bahwa anak terlantar adalah “anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara ruhani, jasmani maupun sosial”. Selanjutnya pada pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa “anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan negara atau orang atau badan” . begitu juga dengan pasal 5 ayat 1 disebutkan “anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang secara wajar”.

UU. No 4 /1997 tersebut secara eksplisit juga menyoroti tanggung jawab orang tua dalam hal pengasuhan anak. Pasal 9 menebutkan bahwa” Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial”. Pernyataan itu diperkuat dengan bunyi pasal 10 ayat 1: ”orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya sebagai mana termaktub dalam pasal 9 sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya”.


Dari beberapa konsep yang dikutip dari UU di atas, dapat disimpulkan bahwa anak jalan termasuk dalam katagori “anak terlantar” atau “anak tidak mampu” yang selayaknya mendapat pengasuhan dari negara. Sebagian besar anak jalanan memang merupakan korban dari penelantaran orang tua. Secara umum UU yang disebutkan di atas sebenarnya sudah cukup memadai untuk digunakan dalam upaya perlindungan anak-anak jalanan. Akan tetapi sejumlah peraturan yang seharusnya diterbitkan sebagai alat implementasi hukum sangat lambat ditindak lanjuti oleh pemerintah, sehingga misalnya hukum yang mengatur pelanggaran orang tua yang menelantarkan anaknya (UU kesejahteraan Anak Ps 10, UU Perkawinan Ps 49, KUHPerdata Ps 319) tidak pernah mengakibatkan satu orangtua pun dihukum. (Detik.com)


Persoalan lain yang menyangkut perundang-undangan itu ialah seringnya terjadi ketidak-konsistenan antara isi dari hukum yang satu dengan yang lain, baik dalam kekuatan yang setara, maupun antara yang tinggi dengan yang lebih rendah. Dalam peraturan penanggulangan masalah “Gepeng” (gelandangan-pengemis) misalnya, intervensi negara terhadap pemberantasan gelandangan pada anak tidak dibedakan secara tegas dengan dengan gelandangan dewasa. Hal ini tentu saja bersebrangan dengan UU No. 4 tahun 1979 yang menjamin kesejahteraan anak.

Hal yang hampir sama juga terjadi pada pengadilan anak-anak. Sering dalam prakteknya perlakuan terhadap si anak masih disamaratakan dengan orang dewasa, baik dalam persidangan maupun dalam proses sebelum dan setelah itu. Untuk persidangan kasus-kasus tertentu seperti narkoba, dalam prakteknya juga tidak parnah ada analisis lebih dalam yang bisa menetapkan secara tepat apakah seorang anak itu memang merupakan pelaku kejahatan narkoba atau malah justru sebagai korban. Akibatnya seringkali si anak korban narkoba yang seharusnya dirawat di tempat rehabilitasi, justru malah dipenjara bersama dengan penjahat sebenarnya. 

Bagaimana kita sebagai Masyarakat, dan Bangsa Indonesia menyikapinya....????

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger